|
Photo By Me, Edit By Canva |
Madura merupakan sebuah pulau
yang berada di sebelah Ibukota Jawa
Timur, Surabaya yang dihubungkan dengan Jembatan Terpanjang yang memebelah selat Madura yakni Jembatan Suramadu. Pulau Madura memiliki Empat kabupaten yang terbentang dari
ujung Timur sampai Ujung Barat dan
merupakan tempat lahirnya Ulama Khos yang menjadi Guru dari dua pendiri ormas
Islam terbesar di Indonesia yakni syeikhona Kiyai Muhammad Kholil di kabupaten
Bangkalan. Selain itu di ujung barat juga ada keraton Asta tenggi di Kabupaten
Sumenep serta Sayyid Yusuf di Talango. Masyarakat Madura di Tanah
kelahirannya memiliki ke khasan khusus yakni bisa dilihat dari tata letak rumah
yang memiliki halaman memanjang atau yang disebut “Tanean Lanjheng” dan disebelah barat ada Musholla atau langgar yang
digunakan untuk sarana peribadahan mereka serta tempat berkumpul keluarga
besar. Rumah memanjang merupakan sebuah identitas masyarakat Madura menjaga
anak cucu, karena biasanya dalam satu Pekarangan terdapat beberapa rumah sanak saudara dan keluarga besar.
Posisi Perempuan di Madura
Perempuan
memiliki penghargaan tertinggi di dalam adat dan budaya Madura, mereka menjadi
perhiasan dalam keluarga sehingga tak jarang remaja perempuan yang telah
beranjak dewasa sangat di jaga oleh orang tuanya. Bahkan sedari lulus SD mereka
dikirim ke pondok yang sangat ketat aturannya agar terlindungi dan salah satu
cara melindungi serta memberikan pengetahuan pada anak sebagai bekal menuju
kehidupan ke depan. Selain penghargaan terhadap anak remaja perempuan yang luar biasa,
penghargaan terhadap wanita juga tercermin dari salah satu perilaku dalam memposisikan seorang istri
menjadi seorang yang sangat spesial setelah “bepak,
Ibu’, guruh, Ratoh” yang artinya posisi itu menjadi spesial setelah bapak,
ibu, guru dan pemimpin.
Lebbhi Bhegus Pote Tolang , Etembheng Pote Mata
Pun penghargaan tertinggi juga bisa dilihat dari grafik
tertinggi duel sampai mati atau “carok” di pulau Madura disebabkan oleh diganggunya
seorang perempuan seperti anak perempuan terlebih istri mereka, terjadinya
carok juga sebagai sebuah perlawan membela diri karena perempuannya di ganggu
oleh pihak ketiga, karena dalam diri orang Madura mengganggu perempuannya
merupakan penghinaan terhadap harga diri seorang laki-laki. hal ini juga di Tulis oleh salah satu akademisi Madura, A. Latief Wiyata dalam bukunya yang berjudul "Carok" bahwa angka tertinggi terjadinya carok karena permasalahan perempuan, karena orang Madura memiliki prinsip yang mengatakan" Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “ maksudnya lebih baik mati berkalang tanah daripada
menanggung malu. Ungkapan ini berlaku demi untuk mempertahankan martabat,
hak dan harga diri sebagai orang Madura Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas dari permasalahan Perempuan dan Lingkungan. Selain penyebab
tertinggi carok karena permasalahan posisi perempuan, juga karena warisan ,
pemilihan kepala desa atau klebun. Tetapi,
lambat laut Carok mulai bisa diminimalisir
dengan adanya penengah dari Tokoh agama, karena mereka sangat menghormati tokoh
agama atau kiyai, dan masyarakat Meninggalkan Carok karena tingkat kesadaran dan kedewasaan dalam berfikir. Bagi saya sebagai
keturunan keempat dari Madura Asli, dulunya juga merasakan ketakutan kalau
sudah mendengar kata Carok di Tanah nenek Moyang saya itu. Tetapi, saya dipahamkan dengan karakter yang juga melekat dengan gaya bicara yang keras
dan nyaring serta semua budaya, perilaku orang Madura, sayapun yang tinggal dan
lahir di Jawa gaya bicarapun masih sama dengan Tretan saya di Pulau Garam tersebut.
Stereotipe Terhadap Orang Madura
Mungkin itu yang
menjadikan kami suku Madura disebutkan keras oleh banyak pihak, bahkan pernah
ada kawan saya keturunan Madura tidak mau disebut keturunan orang Madura.
Stereotipe itu melekat kepada kami Keturunan Madura yang sudah terlahir dan
bermukim di Jawa bahkan mungkin di Luar Negeri. Bahkan saking keras gaya bicara
kami, sempat suatu ketika seorang teman pergi ke kota Saya di Bondowoso melihat
orang Madura berinterikasi dengan memakai bahasa Madura, dia meminta melerai
dua orang tersebut ia menyangka sedang bertikai, saya maklumi Ia terlahir dan
besar di Jawa tengah dan saya bilang kalau itu bicara biasa, dan setelah saya
tanyakan memang teman saya itu hampir jarang berinterkasi dengan orang Madura
sebelum ia Rantau ke Kota Jember.
Ada juga kejadian yang membuat saya tersenyum
karena seorang kawan, waktu itu saya
berkunjung ke Surabaya stereotipe negatif tentang Orang Madura itu dibicarakan
kepada saya, bagaimana orang Madura disekitar Surabaya Utara, saya hanya
tersenyum dan menyimak apa yang ia bicarakan, Cuma dia salut kagum atas
kekompakannya orang-orang Madura. Selepas ia membicarakan itu, sayapun bilang
kalau saya keturunan Madura, saya hanya memberikan pemahaman tentang orang
Madura yang sesungguhnya, mungkin ada saudara saya yang berbuat buruk disuatu
tempat, tapi jangan menggeneralisir kalau orang Madura itu seperti itu semua,
Cuma itu yang saya sampaikan hingga diujung pembicaraan kami menemukan titik
persaudaraan baru antara suku Madura dan Suku Jawa. Karena saya memahami
sebagaimana orang Madura yang terlahir dan Besar di Pulau Jawa ini.Mungkin ini
tidak begitu ekstrem dalam pergaulan orang Madura dan Jawa, ada cerita ekstream
dari Seorang sahabat saya yang tidak boleh menikah dengan orang Madura
karena perbedaan adat, kebiasaan dan Budaya,
pesan orangtuanya sebelum berangkat ke Jember memang tidak boleh mencari Jodoh
orang Madura, tetapi, didalam pergaulannya selama di Jember, sahabat saya
sangat senang berinteraksi dengan kami orang Madura bahkan kita saling tukar
bahasa, jadi saya bicara dengannya memakai bahasa Jawa dan dia harus menjawab
dengan bahasa Madura, sangat akrab dan
Lucu interaksi dalam persahabatan kami.
Cintai dan rawat budaya sendiri yang baik, pelajari dan niat khusnuzdzon memahami budaya lain,
Pernah juga seorang
teman tidak mendapatkan restu dari orang tua perempuan Jawa Karena yang
laki-laki berdarah Madura, seorang teman tersebut memiliki niatan untuk
menikahi setelah kurang lebih empat tahun saling kenal dan alasannya karena
gaya bicara kami serta beberapa stereotipe terhadap orang Madura itu. Mungkin
karena alasan itu juga banyak kejadian lelaki Madura tidak direstui oleh orang
tua perempuan Jawa. Dari beberapa kejadian kandasnya sebuah Tali cinta lelaki
Madura dengan Jawa terutama Jawa Kulonan karena perbedaan itu, tetapi juga tak
jarang dari mereka ada yang jadi menikah karena perempuan jawa tersebut masih
memiliki darah Madura, kalau yang sama-sama murni Suku tak jarang kandas.
Memang ada mitos ataupun kayakinan di Jawa bahwa perempuan Jawa tidak boleh
menikah dengan lelaki Madura. Tak Jarang pernikahan antar suku ini kandas hanya
karena mitos tersebut, kalau dicermati dengan baik sebenarnya pernikahan itu
bukan tentang dengan suku dan perbedaan itu semua. Kalau memang niatan baik
untuk menikah dan tidak ada niatan yang lain selain karena niatan karena Allah
SWT, menjalankan kebaikan, melanjutkan keturunan baik,dan meperjuangkan kebaikan,tentunya hal seperti
itu tidak perlu terjadi. Pernikahan bukan gerbang menuju kebaikan kenapa harus
dibatasi oleh mitos yang berujung stereotipe tersebut. Insyaallah kalau semua
niatannya baik, menikah dengan suku manapun Endingnya akan baik. Hilangkan
stereotipe tidak baik dibenak anda, tidak semuanya seperti itu. Cintai dan
rawat budaya sendiri yang baik, pelajari dan niat khusnuzdzon memahami budaya
lain, alangkah eloknya bila saling memahami antar suku, agama, ras dan
golongan di Negeri Bhineka ini.