Kecamatan
Ijen, merupakan nama baru yang diberikan kepada Kecamatan Sempol (dulu).
Kecamatan Ijen adalah kecamatan yang berada dilereng Gunung Ijen dan dikelilingi pegunungan Ijen Raung, sehingga layaklah kecamatan ini
disematkan sebagai kecamatan Ijen. Kantor kecamatan Ijen terletak di Desa
Sempol yang merupakan pusat keramaian dilereng Ijen, terdapat beberapa tempat layanan kesehatan dan
kebutuhan dasar lainnya. Menurut Peraturan daerah Kabupaten Bondowoso Nomor 8
Tahun 2016, tentang perubahan nama kecamatan
sempol menjadi kecamatan Ijen. kecamatan ini menangui beberapa desa, diantaranya
Desa Sempol, Desa Jampit, Desa Kalianyar, Desa Kaligedang, Desa Kalisat dan Desa Sumberrejo. Dari sekian ribu
penduduk dikecamatan Ijen mata pencaharian mereka adalah buruh tani dan
petani, sebagian besar dari mereka merupakan pegawai, buruh lepas PTPN XII yang
merupakan perusahaan milik BUMN dalam pengelolaan Kopi Arabika yang sudah tidak
asing lagi, dan masyarakat dikecamatan Ijen berada di atas tanah tanpa pajak
atau hanya hak guna yang diberikan oleh PTPN XII dan perhutani. Kecamatan Ijen
juga sering disebut salahsatu Surga diketinggian yang ada dikabupaten
Bondowoso, karena memiliki kawasan wisata yang cukup indah, beberapa
diantaranya adalah kawah ijen, kawah wurung, air terjun Niagara mini dan
lainnya. Tetapi, dibalik keindahan ini terdapat ancaman yang selalu menghantui
mereka berupa kebakaran Hutan, Banjir bandang , Longsor, zat berhabaya dari
kawah ijen seperti yang terjadi tahun 2018, dan kegagalan teknologi jika
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) benar-benar dibangun di
kawasan tersebut. Bahkan, kawasan yang berada di aliran sungai maupun dilereng
yang cukup jauh dari Kecamatan Ijen, yakni Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten
Situbondo.
Ancaman
tersebut memang tidak sepenuhnya terbukti, akan tetapi dengan terjadi banjir
bandang diawal Tahun 2020 ini, tentu membuat pembelajaran bagi kita semua bahwa
bencana itu bisa cegah terjadinya dengan dilihat dari aspek lingkungan dan
topografi wilayah. Seharusnya masyarakat dan pemerintah belajar dari kejadian
serupa ditahun 2015 silam, dimana banjir bandang yang melanda kawasan tersebut
merupakan krisis kearifan dalam mengelola lingkungan. Menurut Romlah (2016)
bahwa bencana banjir yang melanda kawasan kecamatan di tahun 2015, merupakan
bentuk ketidak arifan mengelola lingkungan, dengan menjadikan hutan sebagai
lahan perkebunan baik secara legal maupun illegal. Terjadinya pembakaran hutan
yang disengaja oleh oknum tertentu untuk mengambil keuntungan dari
perbuatannya. Hal ini menjadi pembelajaran untuk kita semua bagaimana pengelolaan
lingkungan hutan dan kawasan hutan. Terjadinya bencana di tahun 2015 silam ternyata
cukup punya kesamaan dengan kejadian 2020 ini, akan tetapi bencana banjir
bandang 2020 ini lebih besar dari tahun 2015. Kejadian banjir bandang 29
Januari 2020 ini, ditengarai sama dengan kejadian 2015 dengan adanya kerusakan
hutan di hulu atau gunung diselatan kecamatan ini, yakni gunung suket. Diakhir
tahun 2019 memang terjadi kebakaran dahsyat disekitar gunung ijen dan raung,
bahkan yang tersangka pembakarnya sebagian sudah di tangkap oleh pihak
berwajib.
“Bencana ini sebenarnya bisa di mitigasi, asal kita semua mau mengambil peran”
Berbagai
presepsi terjadinya bencana ini salah satunya topografi wilayah yang berupa
cekungan di daerah Sempol, terjadinya kebakaran dahsyat dipegunungan ijen dan
raung, serta intesitas hujan yang tinggi sehingga tidak bisa menahan air yang
mengalir ke hilir. Pembabatan hutan menjadi lahan pertanian yang tidak bisa
mengikat banyak air. Bencana ini sebenarnya bisa di mitigasi, asal kita semua
mau mengambil peran untuk penyelamatan kawasan ijen. Dengan adanya
bencana ini saya merasakan hal yang cukup unik dalam penanganan bencana yang terjadi di Sempol kemarin, tanggap
darurat begitu cepat dan solidaritas kemanusiaan masyarakatnya sangat tinggi.
Bahkan sehari selepas kejadian beredar pengumuman di salah satu Whatsapp Group,
untuk memberhentikan bantuan Logistik sementara, dari perusahaan sampai remaja
masjid pun turut andil dalam penanganan bencana banjir bandang kemarin, bersyukurnya
masyarakat telah mampu hidup harmony dengan bencana banjir bandang ini. dengan
melakukan tindakan-tindakan yang telah mereka miliki, karena cukup sama dengan
kejadian 2015, masyarakat telah memiliki kapasitas dalam menejemen diri ketika
terjadi bencana, kemana mereka harus pergi untuk menyelamtkan diri, dan siapa
yang di dahulukan dalam penyelamatan diri. Bersyukurnya tidak ada korban jiwa
pada kejadian bencana banjir bandang di kecamtan ijen kemarin.
Dengan adanya
bencana yang mengancam tersebut, tentu bisa dilakukan mitigasi bencana dengan
upaya multistakholder untuk melakukan aksi tersebut. Peran pemerintah dalam hal
ini merupakan sentral untuk mengketatkan kebijakan agar masyarakat, tidak
melakukan pembabatan hutan secara berlebih. Begitupun, masyarakat sadar dan
mampu mengendalikan dirinya untuk tidak menggarap lahan secara berlebih.
Mungkin tidak berlebihan harapan saya, jika muncul lokal heros penyelamat hutan
seperti yang terjadi dibeberapa daerah. Local heroes ini muncul atas dasar diri
mereka bukan karena terpaksa apalagi karena hanya dibayar.
Lokal heroes
itu bisa terekspose atau tidak, itu hal yang terpenting. Pada bulan Desember
2019, sebenarnya telah ada kegiatan penanaman bibit Pohon yang dilakukan oleh
satu komunitas yang bergerak di bidang lingkungan yakni Hijau Madani bersama
Komunitas paralayang Bondowoso, yang di nahkodai oleh salah satu aktivis
lingkungan yakni Slamet Riyadi yang popular dengan nama Mas Slam. Ia merupakan
aktivis lingkungan yang baru saya kenal, mutiara penyelamat bumi. Setelah
terjadinya bencanan bajir bandang dikecamtan ijen, beberapa opini mulai di gulirkan,
salahsatunya adalah bagaimana mengembalikan fungsi hutan yang sebenarnya.
“Bijaklah memperlakukan alam, agar kita dipelakukan sama olehnya”
Dengan menghimpun
diri beberapa komunitas di Bondowoso akan melakukan Reboisasi Massal dengan
satkorlap Kodim 0822 Bondowoso, yang dilaksanakan tanggal 1 Maret 2020 dengan mengabil momentum nama, "Serangan Reboisasi 1 Maret" . Tetapi, pada dasarnya gerakan ini muncul dari bawah, yakni Komunitas, ini
menjadi harapan besar sebenarnya bagi pemerintah untuk berperan aktif dalam
pengelolaan lingkungan kedepannya. Adanya gerakan ini bukan tanpa alasan,
berdasarkan assement memang sangat perlu dilakukan reboisasi. kalau perlu
pemerintah juga ikut berperan dalam melakukan pemetaan masalah ini, dengan
menghadirkan semua stakeholder atau pemangku kepentingan, agar hutan kembali
pada fungsinya. Serta saling kontrol dalam pengelolaan lingkungan ini sangat
perlu, jika memang ada yang melanggar ditindak secara tegas. Jangan hanya
meninggalkan cerita tentang bencana terhadap anak cucu kita nanti, akan tetapi
warisi mereka kawasan asri yang bisa
menjadikan mereka sadar, mereka memiliki leluhur yang patriotik menjaga
alamnya.
Sekian ulasan
ini, sebagai pengingat bagi saya juga dalam mengola lingkungan dengan arif
tidak serakah, tamak dan merusak alam ini. renungan ini mungkin bukan hanya
tulisan belaka, akan tetapi kami tengah berupaya untuk melakukan aksi nyata
dilakukan bersama Komunitas dan mengajak pribadi ini untuk lebih arif meperlakukan
alam semesta ini. Terima kasih dan sampai jumpa kajian berikutnya.