Kamis, 02 Maret 2017

NEGERI DIATAS AWAN

10:35:00 PM 3



       
Sungguh perjalanan yang tidak gampang, perjalanan hari ini menyusuri kaki bukit gunung kunir diantara Magelang-Purwoharjo, merefleksikan perjalanan setahun 2016. Ketika senyuman tulus terpancar dari warga lokal menyapa dengan nada jawa "bapaké,inyung" sungguh menjadi bagian yang menarik. Perjalanan sekitar 3 jam dari lereng gunung di Dusun Kalipucung memberi banyak catatan, tentang kota yang melahirkan banyak Jendral yang gagah berdiri memimpin pasukannya ini.

1.Warga Dusun Lereng Timur Gunung Kunir.
Disini aku menginap dua hari dua malam. Dengan perangai jujur setiap warga menyapa pendatang baru di sekitar mereka, mereka bekerja hanya bertani dan mengembala kambing yang cukup banyak, karena setiap orang di keluarga itu wajib mencari pakan ternak, dari yang muda-tua. mereka hidup tenang seakan tidak memikirkan apa yang terjadi dengan negeri ini, mereka tak pesimis dengan kehidupannya. Selalu bekerja keras dan tetap berusaha.



2.Merawat Gunung dari Lereng Sampai Puncak.
Setiap rumah sungguh beda dengan keadaan disekitarku, mereka menempati gunung mulai dari lereng sampai puncak, tetapi rata-rata rumah mereka, sudah permanen dengan lantai keramik dan tembok beton cor, yang khas untuk menahan longsor.Tetapi, mereka tidak memberangus gunung menjadi lahan pertanian yang membahayakan mereka, mereka menanami gunung dengan pohon cengkeh. Yang kabarnya tahun ini harganya menurun daripada tahun sebelumnya. Entah itu alami tentang harga cengkeh atau hanya permainan global. Kearifan lokal yang membuat aku tertegun masih dengan kejujuran di raut wajah warga lokal ini. disetiap jalan menuju sebelah barat yakni Sarangan yang berbatasan langsung dengan Purwoharjo, mereka merapikan jalan karena kemarin seharian hujan turun. Mereka merapikan jalan mereka untuk menuju kebun yang membelah gunung Kunir untuk dijadikan jalan pintas, agar segera sampai di dusun sebelah. Mereka merawat gunung dengan menanami pohon berakar besar serta ada tumpang sari di bawahnya.mereka tau resiko yang mengancam mereka, tetapi mereka mencoba bersahabat dengan lingkungannya.Pemandangan luar biasa, aku saksikan dikota ini,meski mereka rata~rata tidak berpendidikan tinggi. Mereka tau merawat dan mencintai alam, tidak seperti mereka (sebagian/oknum) yang berpindidikan tinggi bahkan elit justru menjadikan placur "elit global" untuk kehancuran alam seperti tambang di tumpangpitu bahkan dipapua. 

3. Mencintai, merawat dan memlihara alam.
Mereka berjalan sehari~hari untuk merawat dan mencintai gunung kunir, mereka dicintai juga oleh lingkungan sekitarnya.Untuk makan mereka dan ternak mereka, di hasilkan sendiri dan untuk persiapan atau simpanan uang mereka menunggu panen dari cengkeh mereka. sepanjang perjalanan, aku melihat tebing tidak ada longsor. Meski kemarin hujan seharian bahkan kurang lebih 25 jam, justru tidak ada longsor. aku berbincang sedikit dengan mereka yang merapikan jalan dengan bergotongroyong, 

Pak itu gunung apa? tanyaku"
itu gunung Sumbing dan ini gunung Kunir mas. sahutnya".
setelah itu aku berlalu, dalam hati hanya bersuara "ternyata kerja kerasku menulis skripsi dan menghadapi kejamnya dunia ini bukan apa-apa, dibanding mereka membuat jalan untuk orang banyak, membelah gunung kunir ini. Sedikit lelah melewati jalan ini, apalagi mereka yang memberapikan jalan dengan memacul dan mengais tanah sedikit~sedikit"




Mencintaimu Merawatmu dengan cinta.
terkadang cintai itu bukan hanya untuk manusia.
mencitaimu memberikan untaian terbaik untukmu.
karena aku tau, ku gerogoti tubuh mungilmu
untuk keberangusanku. tapi, aku tak lupa akan merawatmu.
sehingga anak cucuku tau.
kalau kamu masih berdiri dengan tegak di sebalah barat candi borobudur.
merawatmu kewajibanku yang telah memperkosamu.
dari puncak mungilmu ini.
aku harap kau tak pernah marah kepadaku.
izinkan aku tetap merawat, mencintai walaupun sedikit memperkosa tubuh mungilmu (Gunung Kunir).
Puncak Gunung Kunir, kediaman Pak Kholim.
Magelang, 31 Desember 2016.