Kamis, 05 Maret 2020

KECAMATAN IJEN : Bencana Banjir dan Krisis Lingkungan Yang Terulang Kembali

Kecamatan Ijen, merupakan nama baru yang diberikan kepada Kecamatan Sempol (dulu). Kecamatan Ijen adalah kecamatan yang berada dilereng Gunung Ijen dan dikelilingi pegunungan Ijen  Raung, sehingga layaklah kecamatan ini disematkan sebagai kecamatan Ijen. Kantor kecamatan Ijen terletak di Desa Sempol yang merupakan pusat keramaian dilereng Ijen, terdapat beberapa tempat layanan kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Menurut Peraturan daerah Kabupaten Bondowoso Nomor 8 Tahun 2016,  tentang perubahan nama kecamatan sempol menjadi kecamatan Ijen. kecamatan ini menangui beberapa desa, diantaranya Desa Sempol, Desa Jampit, Desa Kalianyar, Desa Kaligedang, Desa Kalisat dan Desa Sumberrejo. Dari sekian ribu  penduduk dikecamatan Ijen mata pencaharian mereka adalah buruh tani dan petani, sebagian besar dari mereka merupakan pegawai, buruh lepas PTPN XII yang merupakan perusahaan milik BUMN dalam pengelolaan Kopi Arabika yang sudah tidak asing lagi, dan masyarakat dikecamatan Ijen berada di atas tanah tanpa pajak atau hanya hak guna yang diberikan oleh PTPN XII dan perhutani. Kecamatan Ijen juga sering disebut salahsatu Surga diketinggian yang ada dikabupaten Bondowoso, karena memiliki kawasan wisata yang cukup indah, beberapa diantaranya adalah kawah ijen, kawah wurung, air terjun Niagara mini dan lainnya. Tetapi, dibalik keindahan ini terdapat ancaman yang selalu menghantui mereka berupa kebakaran Hutan, Banjir bandang , Longsor, zat berhabaya dari kawah ijen seperti yang terjadi tahun 2018, dan kegagalan teknologi jika Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) benar-benar dibangun di kawasan tersebut. Bahkan, kawasan yang berada di aliran sungai maupun dilereng yang cukup jauh dari Kecamatan Ijen, yakni Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Situbondo.
            Ancaman tersebut memang tidak sepenuhnya terbukti, akan tetapi dengan terjadi banjir bandang diawal Tahun 2020 ini, tentu membuat pembelajaran bagi kita semua bahwa bencana itu bisa cegah terjadinya dengan dilihat dari aspek lingkungan dan topografi wilayah. Seharusnya masyarakat dan pemerintah belajar dari kejadian serupa ditahun 2015 silam, dimana banjir bandang yang melanda kawasan tersebut merupakan krisis kearifan dalam mengelola lingkungan. Menurut Romlah (2016) bahwa bencana banjir yang melanda kawasan kecamatan di tahun 2015, merupakan bentuk ketidak arifan mengelola lingkungan, dengan menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan baik secara legal maupun illegal. Terjadinya pembakaran hutan yang disengaja oleh oknum tertentu untuk mengambil keuntungan dari perbuatannya. Hal ini menjadi pembelajaran untuk kita semua bagaimana pengelolaan lingkungan hutan dan kawasan hutan. Terjadinya bencana di tahun 2015 silam ternyata cukup punya kesamaan dengan kejadian 2020 ini, akan tetapi bencana banjir bandang 2020 ini lebih besar dari tahun 2015. Kejadian banjir bandang 29 Januari 2020 ini, ditengarai sama dengan kejadian 2015 dengan adanya kerusakan hutan di hulu atau gunung diselatan kecamatan ini, yakni gunung suket. Diakhir tahun 2019 memang terjadi kebakaran dahsyat disekitar gunung ijen dan raung, bahkan yang tersangka pembakarnya sebagian sudah di tangkap oleh pihak berwajib.
“Bencana ini sebenarnya bisa di mitigasi, asal kita semua mau mengambil peran”
Berbagai presepsi terjadinya bencana ini salah satunya topografi wilayah yang berupa cekungan di daerah Sempol, terjadinya kebakaran dahsyat dipegunungan ijen dan raung, serta intesitas hujan yang tinggi sehingga tidak bisa menahan air yang mengalir ke hilir. Pembabatan hutan menjadi lahan pertanian yang tidak bisa mengikat banyak air. Bencana ini sebenarnya bisa di mitigasi, asal kita semua mau mengambil peran untuk penyelamatan kawasan ijen. Dengan adanya bencana ini saya merasakan hal yang cukup unik dalam penanganan bencana  yang terjadi di Sempol kemarin, tanggap darurat begitu cepat dan solidaritas kemanusiaan masyarakatnya sangat tinggi. Bahkan sehari selepas kejadian beredar pengumuman di salah satu Whatsapp Group, untuk memberhentikan bantuan Logistik sementara, dari perusahaan sampai remaja masjid pun turut andil dalam penanganan bencana banjir bandang kemarin, bersyukurnya masyarakat telah mampu hidup harmony dengan bencana banjir bandang ini. dengan melakukan tindakan-tindakan yang telah mereka miliki, karena cukup sama dengan kejadian 2015, masyarakat telah memiliki kapasitas dalam menejemen diri ketika terjadi bencana, kemana mereka harus pergi untuk menyelamtkan diri, dan siapa yang di dahulukan dalam penyelamatan diri. Bersyukurnya tidak ada korban jiwa pada kejadian bencana banjir bandang di kecamtan ijen kemarin.
Dengan adanya bencana yang mengancam tersebut, tentu bisa dilakukan mitigasi bencana dengan upaya multistakholder untuk melakukan aksi tersebut. Peran pemerintah dalam hal ini merupakan sentral untuk mengketatkan kebijakan agar masyarakat, tidak melakukan pembabatan hutan secara berlebih. Begitupun, masyarakat sadar dan mampu mengendalikan dirinya untuk tidak menggarap lahan secara berlebih. Mungkin tidak berlebihan harapan saya, jika muncul lokal heros penyelamat hutan seperti yang terjadi dibeberapa daerah. Local heroes ini muncul atas dasar diri mereka bukan karena terpaksa apalagi karena hanya dibayar.
Lokal heroes itu bisa terekspose atau tidak, itu hal yang terpenting. Pada bulan Desember 2019, sebenarnya telah ada kegiatan penanaman bibit Pohon yang dilakukan oleh satu komunitas yang bergerak di bidang lingkungan yakni Hijau Madani bersama Komunitas paralayang Bondowoso, yang di nahkodai oleh salah satu aktivis lingkungan yakni Slamet Riyadi yang popular dengan nama Mas Slam. Ia merupakan aktivis lingkungan yang baru saya kenal, mutiara penyelamat bumi. Setelah terjadinya bencanan bajir bandang dikecamtan ijen, beberapa opini mulai di gulirkan, salahsatunya adalah bagaimana mengembalikan fungsi hutan yang sebenarnya.
“Bijaklah memperlakukan alam, agar kita dipelakukan sama olehnya”
Dengan menghimpun diri beberapa komunitas di Bondowoso akan melakukan Reboisasi Massal dengan satkorlap Kodim 0822 Bondowoso, yang dilaksanakan tanggal 1 Maret 2020 dengan mengabil momentum nama, "Serangan Reboisasi 1 Maret" . Tetapi, pada dasarnya gerakan ini muncul dari bawah, yakni Komunitas, ini menjadi harapan besar sebenarnya bagi pemerintah untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan kedepannya. Adanya gerakan ini bukan tanpa alasan, berdasarkan assement memang sangat perlu dilakukan reboisasi. kalau perlu pemerintah juga ikut berperan dalam melakukan pemetaan masalah ini, dengan menghadirkan semua stakeholder atau pemangku kepentingan, agar hutan kembali pada fungsinya. Serta saling kontrol dalam pengelolaan lingkungan ini sangat perlu, jika memang ada yang melanggar ditindak secara tegas. Jangan hanya meninggalkan cerita tentang bencana terhadap anak cucu kita nanti, akan tetapi warisi mereka kawasan asri  yang bisa menjadikan mereka sadar, mereka memiliki leluhur yang patriotik menjaga alamnya.
Sekian ulasan ini, sebagai pengingat bagi saya juga dalam mengola lingkungan dengan arif tidak serakah, tamak dan merusak alam ini. renungan ini mungkin bukan hanya tulisan belaka, akan tetapi kami tengah berupaya untuk melakukan aksi nyata dilakukan bersama Komunitas dan mengajak pribadi ini untuk lebih arif meperlakukan alam semesta ini. Terima kasih dan sampai jumpa kajian berikutnya.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: